SUARA NEGERI | BOGOR — Memproduksi Konten dengan bantuan ChatGPT lebih banyak mudharatnya, karena AI tidak bisa gantikan empati manusia.
Selain itu, konten yang dibuat oleh ChatGPT tidak memiliki hak cipta oleh OpenAI, karena pengguna pada umumnya memiliki output yang mereka hasilkan, jika output tersebut meniru karya yang dilindungi.
Hal itu dikemukan pendiri PERWARI (Persatuan Wartawan dan Media NKRI) RM Gusti Haes saat menjadi nara sumber dalam diskusi terbatas, special membahas "Fenomena Wartawan ChatGPT" bersama Mahasiswa Ibnu Khaldun Bogor, pada Kamis (31/7). Hadir juga dalam giat diskusi ini, pakar media Rasyid Munandar dan Dr Syamsiar Jamaluddin.
"Sejauh ini pewarta diduga banyak juga yang menggunakan layanan ChatGPT tersebut. Namun harus diingat bahwa respons AI mungkin berisi kesalahan," katanya.
Selain itu, lanjut peneliti media ini, terdapat risiko hukum dalam menggunakan ChatGPT termasuk potensi kesalahan informasi, utamanya karena melanggar hak kekayaan intelektual, jika output yang dihasilkan meniru konten yang dilindungi hak cipta.
Menurutnya, sangat mudah menandai postingan media dari karya hasil ChatGPT dengan hasil karya original manusia. Perhartikan saja tanda baca, titik, koma dan seterusnya.
"Harus tetap diingat bahwa AI tetaplah mesin yang memberikan solusi secara template, tanpa mempertimbangkan latar belakang individu. Sehingga berpotensi menyesatkan jika langsung di copy paste dan disuguhkan kepada pembaca," ujarnya.
Pada sisi lain, ungkap Direktur Soros Digital ini, jika praktik copy paste ChatGPT diteruskan akan membahayakan bagi kesinambungan media yang dikelolanya.
"Dari banyak kasus klien kami, mereka mengeluhkan karena media yang dikelolanya tak muncul di laman google lagi. Setelah didalami lebih lanjut, nyatanya banyak postingan yang dihasilkan dari bot ChatGPT. Hal ini dianggap google sebagai postingan sampah, karena terkait duplikat content," katanya.
"Sehingga jangan mengeluh, ketika nama nama media tertentu tak muncul di laman google, karena salah satu penyebabnya adalah karya yang dihasilkan oleh chatGPT dan rilis humas yang di posting tanpa melalui proses editing lagi," jelasnya.
Saat media masih baru dibuat, kata dia, mungkin saja terindeks, namun seiring waktu google mendeteksi postingan tersebut bot atau duplikat content, sehingga postingan tersebut kemudian tak diindeks lagi di laman google.
RM Gusti Haes mengingatkan mahasiswa calon jurnalis untuk mempelajari fenomena chatGPT lebih mendalam, selain tak mengedukasi bagi pembaca, kebiasaan memanfaatkan chatGPT merugikan diri sendiri, utamanya terkait kreatifitas karya jurnalis.
Fenomena wartawan ChatGPT juga disoroti pakar media Rasyid Munandar. Menurutnya, mahasiswa calon jurnalis agar mempersiapkan diri supaya tidak kalah oleh kecanggihan AI.
"Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) merupakan suatu keniscayaan, tetapi kita juga harus ingat pentingnya memiliki life balance, yaitu menyeimbangkan aktivitas digital dan sosial," katanya.
Menurutnya, ada tiga kecerdasan yang tidak bisa dimiliki AI yaitu kecerdasan emosional, spiritual, dan adversitas yaitu kemampuan untuk bangkit kembali ketika gagal dan terpuruk.
"Karena itu, pemanfaatan teknologi AI tanpa filter bisa menjadi bumerang. Banyak case membuktikan, ternyata AI tidak selalu membuat manusia semakin cerdas, tapi justru makin culas. Karena artikel buatan AI menyadur karya orang lain, yang didalamnya ada hak cipta," katanya.
"Ketika hal itu kita lakukan, maka kita berbuat culas, menjadi tidak arief dan bijaksana," imbuhnya.
Bagi jurnalis, lanjut Bang Rasyid, jangan hanya ingin mengejar kepopuleran semu di dunia maya ketimbang manfaat nyata dari teknologi itu sendiri.
Rasyid mengajak mahasiswa calon jurnalis untuk mempertimbangkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial dalam membuat karya sastra dalam tulisan.
"Kadang kita lupa, seolah buatan ChatGPT itu sempurna, lalu dijadikan bahan postingan di media tanpa mengkaji dampak buruk digital dikemudian hari," katanya.
Pada bagian akhir diskusi "Fenomena Wartawan ChatGPT", para nara sumber mengingatkan bahwa fenomena ini layak menjadi refleksi penting di tengah euforia penggunaan AI dan teknologi digital di berbagai sektor. (Fika)