Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar Akan Pimpin Muktamar Ke-35 NU

SuaraNegeri.com
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:32 WIB Last Updated 2025-12-25T14:32:32Z

SUARA NEGERI | KEDIRI — Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar akan memimpin Muktamar Ke-35 NU pada tahun 2026 mendatang.

Kesepakatan tersebut tercapai dalam pertemuan para masyayikh, mustasyar dan pimpinan PBNU yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, pada Kamis (25/12).

Mustasyar PBNU, KH Ma’ruf Amin mengapresiasi atas tercapainya kesepakatan antara Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf dan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar untuk menyelenggarakan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) secara bersama-sama. 
 
"Pertemuan ini berakhir bagus. Ujungnya ada kesepakatan dan segera diadakan muktamar yang tidak satu pihak, tapi bersama. Tetap ada Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Jadi, bersama-sama membentuk kepanitiaan menyelenggarakan muktamar," ujar Ma’ruf Amin seusai rapat.

Menurut KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, ia merasa syukur dan terima kasih kepada para sesepuh ulama dan mustasyar PBNU yang telah membimbing hingga tercapai kesepakatan tersebut.

"Tidak ada ungkapan selain syukur alhamdulillah, dan terima kasih ke para sesepuh ulama, sesepuh mustasyar yang membimbing semua, sehingga hari ini disepakati secara penuh tetap bahwa selanjutnya akan diselenggarakan muktamar yang normal," kata dia.

Dia menyatakan Muktamar ke-35 NU nantinya akan dipimpin oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar bersama Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.


Pertemuan antara Gus Yahya dan Rais ‘Aam KH. Miftahul Akhyar di Pesantren Lirboyo, 25 Desember 2025, tidak bisa dibaca sebagai sekadar silaturahmi kultural. 

Terlalu naif jika publik menganggapnya hanya temu kangen dua tokoh NU. Yang terjadi hari ini adalah pertemuan dua poros otoritas tanfidziyah dan syuriyah yang sejak sebulan terakhir berada dalam ketegangan struktural paling serius dalam sejarah PBNU pasca reformasi.

Konflik ini tidak lahir dari satu sebab tunggal. Ia adalah akumulasi dari perbedaan tafsir kewenangan, irama kepemimpinan, dan cara membaca disiplin organisasi. Maka, siapa pun yang mencoba menyederhanakannya menjadi “perseteruan personal” jelas sedang mengaburkan masalah.

Awalnya, keputusan Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 menjadi pemantik. Permintaan pengunduran diri Ketua Umum PBNU dalam tenggat waktu yang ketat dan kemudian berujung pada pemberhentian adalah langkah ekstrem dalam tradisi organisasi NU yang biasanya mengedepankan tabayun berlapis dan kehati-hatian simbolik. Di titik inilah kegelisahan mulai membesar.

Bagi pihak Syuriyah, langkah tersebut dipandang sebagai tanggung jawab konstitusional. Rais ‘Aam, dalam posisi itu, tidak sedang bertindak sebagai figur personal, melainkan sebagai pemegang amanat tertinggi penjaga marwah jam’iyah. 

Dalam kerangka ini, keputusan keras justru dibaca sebagai upaya menyelamatkan organisasi dari preseden buruk: ketika struktur tanfidziyah dianggap berjalan tanpa sinkronisasi dengan poros kebijaksanaan ulama.

Namun di sisi lain, bagi sebagian pengurus dan warga NU, mekanisme yang ditempuh terasa terlalu cepat dan minim partisipasi struktur luas, khususnya PWNU dan PCNU. Di sinilah letak komplikasinya: konflik ini bukan soal benar-salah mutlak, melainkan benturan dua nalar organisasi nalar ketertiban versus nalar keterwakilan.

Rapat Pleno PBNU pada 9 Desember 2025, yang mengukuhkan keputusan pemberhentian dan menunjuk penjabat Ketua Umum, sejatinya dimaksudkan sebagai konsolidasi. Tapi justru di titik itu jarak psikologis kian melebar. 

Sebagian merasa persoalan selesai secara struktural; sebagian lain menilai persoalan baru saja dimulai secara moral.

Musyawarah Kubro di Lirboyo kemudian hadir sebagai ruang alternatif bukan forum konstitusional, tetapi forum kultural. Di sinilah NU sering menemukan jalan keluar ketika teks organisasi menemui jalan buntu. 

Kehadiran Gus Yahya memenuhi undangan ini penting dicatat: ia datang bukan sebagai Ketua Umum, bukan pula sebagai pihak yang mengakui atau menolak secara frontal, melainkan sebagai santri NU yang memahami bahwa konflik sebesar ini tidak bisa diselesaikan dengan surat edaran semata.

Pertemuan hari ini, jika dicermati dengan jernih, hampir pasti tidak membahas “siapa yang menang”. Fokusnya jauh lebih mendasar: bagaimana NU keluar dari krisis legitimasi internal tanpa meninggalkan luka jangka panjang. Penjelasan Rais ‘Aam tentang dasar keputusan Syuriyah, respons Gus Yahya terkait keberatan mekanisme, dorongan para kiai sepuh untuk islah semuanya berada dalam satu benang merah: menyelamatkan jam’iyah dari perpecahan diam-diam.

Yang sering luput dari perhatian publik adalah ini: dalam tradisi NU, islah bukan berarti membatalkan keputusan, tetapi menata ulang relasi dan adab setelah keputusan diambil. Karena itu, Lirboyo bukan tempat untuk mencabut surat, melainkan tempat untuk memastikan bahwa surat tidak menjadi sumber dendam struktural.

Jika ada pelajaran penting dari konflik ini, maka ia terletak pada satu hal: NU terlalu besar untuk dikelola hanya dengan ketegasan, dan terlalu berharga untuk diselamatkan hanya dengan kompromi kosong. Keduanya harus berjalan beriringan.

Pertemuan 25 Desember ini mungkin tidak melahirkan keputusan final yang memuaskan semua pihak. Tapi jika ia berhasil menurunkan tensi, memulihkan komunikasi, dan menegaskan bahwa perbedaan bisa dikelola tanpa saling mendelegitimasi, maka Lirboyo telah menjalankan perannya sebagai simpul kebijaksanaan, bukan panggung kemenangan.

Dan bagi warga NU di akar rumput, barangkali ini yang paling penting: konflik boleh terjadi, bahkan keras. Tetapi selama ia masih dicari solusinya dengan adab, NU belum kehilangan dirinya sendiri. (01/fb/nur)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar Akan Pimpin Muktamar Ke-35 NU

Trending Now

Iklan