Antara Kepentingan Politik, Kewenangan DPR dan Mahkamah Konstitusi
0 menit baca
Oleh : Fredi Moses Ulemlem
Bahwa terlepas dari segala kepentingan politik, open legal policy adalah kewenangan yang dimiliki oleh DPR (Legislatif) untuk membentuk undang-undang, mengatur muatan materi dalam suatu undang-undang yang tidak diatur secara rinci dalam konstitusi kita.
Bahwa jika konstitusi kita tidak memberikan batasan yang jelas terhadap suatu materi dalam undang-undang yang harus diatur, maka DPR (Legislatif) sebagai lembaga pembentuk undang-undang tentunya memiliki kebebasan untuk menentukan kebijakan hukumnya sendiri dalam mengatur materi tersebut.
Adapun persoalan putusan Mahkamah Konstitusi yang sedang menjadi sorotan publik baik kalangan pakar hukum tatanegara, ahli hukum lainnya, politisi dan tentunya DPR-RI (Legislatif) sebagai lembaga pembentuk undang-undang, dalam konteks pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK), open legal policy menjadi pertimbangan penting.
Namun Mahkamah Konstitusi tidak dapat menguji materi muatan undang-undang yang termasuk dalam open legal policy, kecuali jika materi tersebut jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi atau melanggar moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang tidak dapat ditolerir.
Akan tetapi Mahkamah Konstitusi tetap tidak dapat menguji materi muatan undang-undang yang termasuk dalam open legal policy, kecuali jika materi tersebut bertentangan dengan konstitusi atau melanggar nilai-nilai dasar.
Secara tegas Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma baru. Tugas utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
Jika Mahkamah Konstitusi menemukan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD, maka tugas Mahkamah Konstitusi adalah dapat membatalkan norma tersebut, tetapi tidak dapat membuat norma baru.
Pembentukan norma baru merupakan kewenangan lembaga legislatif (open legal policy), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah.
Oleh karena itu, wajar saja jika putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal dipersoalkan oleh DPR, karena ini menyangkut kewenangan open legal policy, dan juga hal lain soal demokrasi kita dinegara ini, di sisi lain menurut Prof Mahfud MD bahwa langkah Mahkamah Konstitusi sebagai satu bentuk pertobatan berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya yang mana lembaga penjaga pintu gerbang konstitusi itu pernah dinodahi oleh kasus korupsi dan atau suap pada kasus sengketa pilkada.(*)