SUARA NEGERI | MALUKU — Perdebatan antara DPRD Provinsi Maluku dan pihak terkait dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) soal tambang di Pulau Wetar, Maluku Barat Daya, seharusnya tidak berhenti pada pertarungan retorika antar-elite.
"Persoalan itu semestinya berangkat dari kepentingan rakyat lokal yang terdampak langsung oleh eksploitasi tambang," kata Pengamat hukum dan politik Fredi Moses Ulemlem, di Jakarta, Sabtu (25/10/2025).
"Mari bicara kepentingan masyarakat dengan basis argumen, bukan sentimen," tegas Fredi Moses.
Menurutnya, perbedaan pandangan yang mencuat dalam RDP kemungkinan berkaitan dengan ketimpangan rekrutmen tenaga kerja antara warga Pulau Wetar dan pekerja luar daerah. Hal itu, kata Fredi, merupakan persoalan klasik di wilayah tambang yang belum tersentuh regulasi berpihak kepada rakyat.
"Pertanyaannya sederhana, apakah Pemerintah Provinsi Maluku sudah memiliki perda yang mewajibkan perusahaan tambang memprioritaskan tenaga kerja lokal di Pulau Wetar?" ujarnya retoris.
Pulau Wetar dikenal kaya akan sumber daya mineral, namun masyarakat setempat kerap hanya menjadi penonton di tengah aktivitas industri yang masif.
Fredi menilai kondisi ini sebagai bentuk ketimpangan struktural akibat lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil.
"Kita tidak butuh tambang yang hanya meninggalkan lubang dan janji. Anak-anak muda Wetar harus diberi ruang dalam pembangunan, bukan terus diabaikan," kritiknya.
Ia menegaskan bahwa sejak perubahan regulasi, kewenangan perizinan tambang berada di tangan pemerintah provinsi. Karena itu, Gubernur Maluku memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan hak tenaga kerja lokal terlindungi.
"Gubernur tidak boleh cuci tangan. Negara harus hadir melindungi warga, bukan sekadar menjadi penonton di depan korporasi besar," tegas Fredi.
Fredi menyoroti sejumlah daerah di Indonesia yang telah memiliki peraturan daerah (perda) progresif terkait tenaga kerja lokal di sektor tambang. Beberapa di antaranya:
- Perda Kabupaten Berau No. 8 Tahun 2018: Perusahaan wajib mempekerjakan minimal 80% tenaga kerja lokal.
- Perda Kota Bontang No. 1 Tahun 2009: Minimal 70% tenaga kerja lokal.
- Perda Kabupaten Kampar No. 5 Tahun 2009: Komposisi 40% tenaga kerja lokal dan 60% tenaga kerja luar.
Sementara di Maluku, kata Fredi, hingga kini belum terlihat kebijakan sejenis yang secara tegas mengikat perusahaan tambang untuk berpihak kepada rakyat lokal.
"Jika daerah lain bisa menetapkan kuota tenaga kerja lokal, mengapa Maluku belum? Ini soal keberanian politik, bukan sekadar hukum," ujarnya.
Selain dasar hukum daerah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menjamin hak yang sama bagi setiap warga untuk memperoleh pekerjaan tanpa diskriminasi. Namun, tanpa regulasi turunan yang berpihak, undang-undang itu hanya menjadi hiasan hukum tanpa daya guna.
Penelitian Universitas Pattimura (2023) mengungkap bahwa lebih dari 65% tenaga kerja di proyek tambang di Maluku direkrut dari luar daerah, dengan kontribusi ekonomi langsung kepada masyarakat lokal di bawah 15%. Akibatnya, ketimpangan ekonomi dan sosial terus melebar.
Laporan LIPI (2022) juga menunjukkan bahwa daerah-daerah kaya sumber daya, tetapi miskin kebijakan sosial, cenderung mengalami “paradoks kemakmuran” di mana kekayaan alam justru memperdalam kemiskinan warga setempat.
Dalam kacamata teori politik ekonomi, kondisi ini disebut “resource enclave”, di mana kekayaan alam dikeruk tanpa memberi nilai tambah bagi rakyat sekitar.
"Ini bentuk kolonialisme baru dalam ekonomi modern, rakyat jadi penonton, tanahnya jadi korban," tutur Fredi tajam.
Fredi menegaskan, semangat Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi dasar dalam mengatur tata kelola tambang di Maluku. “Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itu bukan sekadar kalimat, itu amanat konstitusi,” katanya.
Ia menutup dengan seruan moral agar pemerintah provinsi mengambil langkah tegas terhadap perusahaan tambang yang tidak berpihak pada masyarakat lokal.
"Kalau negara tidak berdiri di sisi rakyat, maka tambang hanya akan menjadi simbol ketidakadilan di tanah sendiri. Kita butuh kebijakan yang berwajah manusia," pungkas Fredi Moses Ulemlem.(sa/by)


