SUARA NEGERI | KENDAL — Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) belakangan ini menjadi topik hangat di berbagai desa di Indonesia. Kehadiran dapur SPPG yang mampu menyerap tenaga kerja lokal menimbulkan antusiasme tinggi, terutama dari kalangan ibu rumah tangga dan anak muda yang tengah mencari penghasilan di daerahnya.
Pemerhati Ketenagakerjaan Dani Satria menyoroti keberadaan lowongan kerja (Loker) padat karya seperti SPPG ini masih menjadi primadona di desa. Hal ini dikarenakan, realitas pasar tenaga kerja Indonesia saat ini masih mengalami tantangan besar.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat lebih dari 10 juta orang setiap tahun berebut mencari kerja. Namun, lowongan kerja justru menyusut hingga 29 persen saat ini, sehingga nasib generasi Z dan masyarakat di desa dalam memasuki dunia kerja semakin penuh tekanan.
“Fenomena Loker SPPG menjadi menarik karena di tengah kelangkaan lapangan kerja, justru sektor ini mampu menawarkan peluang. Meski demikian, kita tidak bisa menutup mata bahwa kualitas dan sistem rekrutmen harus benar-benar dijaga, agar hasil produk MBG juga berkualitas tinggi” kata Pemerhati Ketenagakerjaan Dani Satria, melalui siaran persnya di Kendal, Jawa Tengah, Selasa (07/10/2025).
Dani menambahkan, tantangan masyarakat saat ini semakin berat karena biaya hidup terus meningkat. Maka dari itu, dengan adanya Loker SPPG ini diharapkan bisa mengurangi angka pengangguran dan membuat masyarakat desa mendapatkan penghasilan.
“Saat ini juga muncul istilah Nillionaire, yaitu orang yang bekerja keras namun tidak punya tabungan yang cukup. Bahkan, orang yang berusia di atas 50 tahun masih terlihat mengantri di job fair untuk sekedar mencari pekerjaan. Ironisnya, banyak gedung Balai Latihan Kerja di daerah yang tidak beroperasional secara maksimal sehingga masih kurang produktif dalam memberikan keterampilan sesuai kebutuhan industri,” imbuh Dani.
Berdasarkan observasi di lapangan pada dapur MBG, setiap kali pembukaan lowongan di SPPG, pengurus selalu menerima banyak sekali Curriculum Vitae (CV) dari warga. Meskipun kuota karyawan per dapur sekitar 50 orang sudah terpenuhi, namun masih banyak warga yang rela menunggu untuk posisi tersebut. Hal ini menegaskan betapa besar animo masyarakat desa untuk bisa bekerja di sektor SPPG tersebut.
“SPPG hadir sebagai alternatif yang nyata, namun jangan sampai terjebak hanya pada serapan tenaga kerja tanpa memperhatikan kompetensi. Proses seleksi harus profesional agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari,” ujar Dani.
Menurut Dani, banyak ibu-ibu kini menggantungkan rezekinya pada dapur MBG, sehingga SPPG berpotensi menjadi solusi nyata untuk menekan angka pengangguran desa. Program ini juga dapat melengkapi peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sehingga strategi pengentasan pengangguran dan kemiskinan dari desa bisa lebih efektif. (*)