SUARA NEGERI | JAKARTA — Persoalan energi nasional kembali menjadi sorotan, bukan hanya karena lambannya pembangunan kilang minyak baru, tetapi juga polemik pasokan BBM yang melibatkan Pertamina dan swasta. Dua isu ini saling berkait, keduanya menegaskan rapuhnya fondasi kedaulatan energi Indonesia.
Selama lebih dari dua dekade, Indonesia belum membangun kilang minyak baru. Pembangunan terakhir berlangsung sebelum krisis 1998. Rencana revitalisasi dan proyek-proyek besar kerap tertunda, sehingga ketergantungan pada impor BBM semakin tinggi.
Data Energy Information Administration (EIA) mencatat, pada 2024 Indonesia mengimpor rata-rata 791.000 barel produk minyak per hari dengan nilai USD 19,52 miliar per tahun. Dalam sepuluh tahun, kerugian devisa bisa menembus USD 195 miliar, bahkan naik hingga USD 231 miliar bila harga minyak global berada di level USD 80 per barel.
"Kerugian ini bukan sekadar angka. Ia menekan kapasitas fiskal negara sekaligus melemahkan daya saing nasional," ujar Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, seperti dikutip CNBC Indonesia (30/09/2025).
Secara ekonomis, pembangunan kilang domestik lebih efisien. Dengan investasi sekitar USD 10–12,5 miliar, Indonesia dapat menekan ketergantungan impor.
Namun, sebelum masuk ke kilang baru, sektor hulu harus diperkuat. Produksi sumur tua terus menurun, sehingga penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) mendesak. Jika keterbatasan teknologi masih menjadi kendala, joint venture (JV) dengan perusahaan global seperti Aramco, Shell, atau Exxon bisa menjadi solusi.
JV (Joint Venture) adalah bentuk kerja sama bisnis antara dua pihak atau lebih, biasanya perusahaan lokal dengan perusahaan asing, untuk mengelola satu proyek bersama.
Dalam konteks energi, skema ini membawa keuntungan berupa teknologi canggih, dukungan modal, dan jaminan pasokan minyak mentah melalui kontrak jangka panjang. Dengan begitu, risiko fluktuasi harga bisa ditekan dan stabilitas energi lebih terjamin.
Kilang tanpa dukungan storage strategis juga hanya memperpanjang masalah. Negara tetangga, Singapura, menjadi contoh bagaimana efisiensi kilang dan kapasitas storage menjadikannya hub energi regional meski minim sumber migas. Indonesia, dengan potensi besar, berpeluang mengambil peran serupa jika regulasi dan strategi dijalankan konsisten.
Di tengah urgensi pembangunan infrastruktur energi, publik dikejutkan oleh keputusan Vivo dan BP-AKR membatalkan rencana pembelian BBM impor dari Pertamina (26/09/2025). Alasannya, kandungan etanol 3,5 persen dalam bensin Pertamina.
Padahal, regulasi pemerintah memperbolehkan campuran etanol hingga 20 persen. Etanol justru dikenal sebagai biofuel ramah lingkungan yang meningkatkan angka oktan dan menekan emisi karbon.
Keputusan swasta ini langsung menimbulkan pertanyaan besar, apakah alasan teknis benar-benar dominan, atau sekadar strategi bisnis dan dominasi pasar?
Akibat pembatalan pasokan, sejumlah SPBU baru BP-AKR yang sudah selesai dibangun tertunda operasionalnya. Masyarakat pun kehilangan alternatif layanan dan harga, di tengah mahalnya energi.
Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos., MH, pengamat energi nusantara, menilai persoalan ini sebagai cermin inkonsistensi kebijakan energi (03/10/2025).
"Kalau pemerintah sudah mengizinkan kandungan etanol sampai 20 persen, kenapa 3,5 persen dipersoalkan? Jangan sampai regulasi hanya jadi jargon tanpa implementasi nyata," ujarnya.
Ia juga menegaskan, "Kalau alasan penolakan murni strategi dagang, sebaiknya disampaikan jujur. Karena menunda pasokan justru memperpanjang penderitaan rakyat yang harus menanggung mahalnya harga BBM,"
Persoalan ini memperlihatkan tarik menarik kepentingan antara BUMN, swasta, dan regulasi pemerintah. Biaya bukan kendala utama pembangunan kilang atau transisi energi. JV bisa menutup kebutuhan modal. Tantangan sesungguhnya adalah konsistensi regulasi, political will, dan perlindungan investasi.
Dari perspektif geopolitik, pembangunan kilang dan storage bukan hanya urusan domestik, melainkan bagian dari perebutan pengaruh energi di Asia Tenggara. Proyek Kra Canal di Thailand yang berpotensi menggeser jalur Selat Malaka menjadi alarm penting bagi Indonesia untuk memperkuat infrastruktur energi.
Jika rencana pembangunan kilang berkapasitas 1 juta barel per hari terealisasi, Indonesia tidak hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga berpotensi menjadi energy hub kawasan.
Kini, publik menunggu apakah pemerintah mampu mengintegrasikan strategi hulu-hilir, menguatkan regulasi, serta menempatkan rakyat sebagai prioritas? Ataukah energi bangsa kembali terjebak dalam permainan korporasi dan kepentingan jangka pendek?
Kedaulatan energi adalah soal hidup mati bangsa. Tanpa langkah nyata, Indonesia hanya akan terus menjadi pasar, bukan pemain.(sa/by)