Diskusi Kebangsaan di Museum Agung Pancasila: Bali Harus Dijaga dari Pasar Bebas Kapitalisme

SuaraNegeri.com
Minggu, 05 Oktober 2025 | 11:39 WIB Last Updated 2025-10-05T04:39:48Z

SUARA NEGERI | BALI — Museum Agung Pancasila, Renon, kembali menjadi ruang lahirnya perbincangan kritis soal arah bangsa, pada Sabtu (4/10) kemarin.

Dua sosok "pendekar hukum" hadir dalam forum diskusi kebangsaan, Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arif Hidayat, S.H., M.S. dan Ketua Pansus Tata Ruang, Aset Daerah dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, I Made Supartha, S.H., M.H.

Pendiri Museum Bung Karno, Ida Bagus Dharmika alias Gus Marhaen, menegaskan forum ini bukan sekadar seremonial intelektual, melainkan upaya mencari jalan keluar atas krisis kebangsaan, khususnya bagaimana Bali mempertahankan jati diri di tengah kepungan modal besar dan kepentingan global.

"Topik utama kita adalah menambah kekuatan APBD Bali sekaligus menjaga keharmonisan Bali agar tidak digerus kepentingan luar yang hanya ingin menjadikan Bali pasar bebas," ujarnya.

Prof. Arif Hidayat memantik perhatian ketika membahas Putusan MK Nomor 90 dengan standing opinion yang justru melawan arus putusan mayoritas. Sikap itu menegaskan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat politik praktis.

"Putusan yang berbeda harus dipandang sebagai upaya menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar angka mayoritas," tegasnya.

Diskusi meluas ke soal tata ruang Bali, khususnya pasca bencana banjir yang memperlihatkan rapuhnya fondasi pembangunan. Prof. Arif mendukung kerja Pansus TRAP DPRD Bali yang berani menyentuh isu sensitif soal aset dan perizinan.

Made Supartha memaparkan kerja Pansus TRAP yang fokus pada penertiban tata ruang dan aset daerah. Namun ia mengingatkan, pariwisata Bali tidak boleh semata diposisikan sebagai mesin uang.

"Pariwisata Bali hanya akan bertahan jika berbasis lingkungan, kebudayaan, dan adat istiadat. Jika tidak, maka Bali hanya jadi panggung kapitalisme global," katanya.

Prof. Arif mengamini. "Ketika turis datang, mereka ingin bahagia dan terlindungi, tapi yang pertama mereka cari justru budaya Bali. Kalau budaya ini hilang, Bali tidak ada bedanya dengan destinasi lain," ungkapnya.

Diskusi menyinggung Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang menekankan pembangunan berbasis keberlanjutan. Dari sinilah muncul gagasan “eco-kebudayaan”  kebudayaan yang tidak hanya dijaga, tapi juga dijadikan dasar pembangunan ekonomi Bali.

"Eco budaya ini lahir dari hulunya, dari ajaran Bung Karno yang menekankan kepribadian dalam kebudayaan," jelas Prof. Arif.

Forum juga membedah UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, Perda 100 Tahun Haluan Bali, dan Perda Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Semua regulasi itu dianggap penting sebagai penegasan Bali bukan hanya ‘pulau wisata’, melainkan pusat kebudayaan Nusantara.

Made Supartha menegaskan dukungannya, "Kita harus kawal ruang-ruang izin dan aset demi anak cucu. Bali tidak boleh jadi korban eksploitasi."

Prof. Arif menutup diskusi dengan kutipan tegas, Eva Satyam Eva Jayate, hanya kebenaran yang akan menang.

Diskusi di Museum Agung Pancasila ini mengingatkan publik bahwa pertempuran terbesar Bali bukan hanya melawan bencana alam, melainkan melawan arus neoliberalisme yang ingin menjadikan Bali komoditas. Bagi kalangan kiri, inilah panggilan untuk kembali pada Pancasila, pada Bung Karno, dan pada kebudayaan sebagai benteng terakhir.(by)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Diskusi Kebangsaan di Museum Agung Pancasila: Bali Harus Dijaga dari Pasar Bebas Kapitalisme

Trending Now

Iklan