SUARA NEGERI | PATI — Forum Pemuda Pati (FPP) melalui Ketua Umumnya, Ahmad Ainut Taufiq yang juga mantan Koordinator Pusat Ikatan Mahasiswa Pati Se-Indonesia (IMPSI) menyampaikan pandangan kritis dan keprihatinan mendalam atas pernyataan Bupati Pati, Sudewo, yang dinilai kurang mencerminkan prinsip komunikasi publik yang bijaksana serta nilai-nilai kepemimpinan yang mengayomi.
Kepemimpinan daerah bukan sekadar soal memegang kewenangan administratif, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan merawat hubungan batin dengan masyarakat yang telah memberikan mandat melalui proses demokrasi.
Seorang bupati adalah figur yang diharapkan menjadi teladan, pengayom, sekaligus pelayan publik yang hadir untuk menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Oleh karena itu, setiap pernyataan publik memiliki bobot yang besar dan dapat berdampak langsung terhadap psikologi sosial masyarakat.
Pernyataan Bupati Pati yang menanggapi potensi aksi massa dengan kalimat “Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang saja suruh ngerahkan saya tidak gentar!” menimbulkan kekhawatiran akan munculnya eskalasi ketegangan.
Ucapan yang terkesan menantang dapat dipahami sebagian pihak sebagai bentuk jarak emosional antara pemerintah dan masyarakatnya. Padahal, dalam kerangka etika pelayanan publik, seorang pemimpin seharusnya mengedepankan bahasa yang menenangkan, merangkul, dan mendorong penyelesaian perbedaan pandangan melalui jalan musyawarah.
Kondisi ini telah memicu reaksi dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari tokoh pemuda, akademisi, komunitas warga, hingga masyarakat Pati di perantauan. Mereka merasa perlu menyuarakan aspirasi secara kolektif demi memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi perhatian utama penyelenggara pemerintahan. Banyak di antara mereka yang menegaskan bahwa gerakan ini bukan sekadar protes, melainkan bentuk kepedulian dan cinta terhadap tanah kelahiran, agar Pati tetap berada pada jalur pembangunan yang berkeadilan dan inklusif.
Dalam budaya Jawa, nilai-nilai seperti andhap asor (rendah hati), tepa selira (tenggang rasa), dan nguwongke uwong (memanusiakan manusia) menjadi landasan moral yang diwariskan turun-temurun. Pepatah Adigang, Adigung, Adiguna mengingatkan agar siapa pun yang memegang kekuasaan menjauhi sikap merasa paling kuat, paling berkuasa, atau paling pandai. Kepemimpinan yang sejati adalah kepemimpinan yang tidak merendahkan lawan bicara, tidak menutup ruang aspirasi, dan tidak membiarkan perbedaan pendapat berkembang menjadi permusuhan.
FPP memandang bahwa momentum ini seharusnya menjadi kesempatan emas bagi Bupati Pati untuk mengoreksi gaya komunikasi dan pola pendekatan kepada masyarakat. Dialog terbuka yang diinisiasi oleh pemerintah daerah akan menjadi langkah strategis untuk meredakan ketegangan sekaligus membangun kembali kepercayaan publik. Di saat yang sama, masyarakat pun diharapkan terus menyuarakan pendapatnya secara tertib, damai, dan konstruktif, sehingga proses perbaikan dapat berjalan tanpa mengorbankan stabilitas sosial.
Harapan terbesar seluruh pihak adalah agar Kabupaten Pati dapat kembali harmonis, dengan hubungan yang erat antara pemimpin dan warganya. Kepemimpinan yang kuat bukan hanya diukur dari keberanian menghadapi tantangan, tetapi dari kemampuan menjaga martabat jabatan, merangkul semua golongan, dan menegakkan nilai-nilai luhur yang telah menjadi identitas daerah. Dari sinilah, marwah kepemimpinan Pati dapat kembali bersinar, bukan karena kekuasaan yang ditakuti, tetapi karena kepercayaan yang dihormati. (*)