Satgas Optimalisasi Penerimaan Negara: Inovasi Reformis Dan Perang Melawan Korupsi
0 menit baca
Oleh: Antony Komrad | Analis Keamanan dan Hukum
Dalam beberapa hari terakhir, opini publik diramaikan sentimen liar yang menuding pembentukan Satuan Tugas Optimalisasi Penerimaan Negara oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai langkah liar dan tanpa dasar hukum. Tuduhan itu tampak tajam di permukaan, namun jika dikupas dengan kepala dingin, terlihat bahwa esai tersebut lebih dipenuhi asumsi dan ketakutan akan perubahan daripada analisis berbasis fakta.
Sebaliknya, Satgas ini adalah wujud responsif negara atas kebocoran penerimaan yang sudah berlangsung lama, namun selama ini tidak tertangani optimal oleh lembaga yang secara normatif diberi wewenang.
Kolaborasi, Bukan Intervensi
Pertama, mari luruskan persepsi: Satgas ini bukan pengambilalihan tugas fiskal, melainkan kolaborasi. Perlu diingat, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Reformasi Birokrasi secara eksplisit membuka ruang kerja lintas lembaga, terutama dalam konteks transparansi, efisiensi, dan peningkatan penerimaan negara. Dalam semangat ini, langkah Kapolri justru inline dengan kebijakan nasional.
Kementerian Keuangan sendiri tidak menolak keberadaan Satgas ini. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pejabat Kemenkeu menyatakan kebutuhan sinergi penegakan hukum untuk menindak pelaku penghindaran pajak, ekspor ilegal, dan manipulasi dokumen.
Ini bukan ranah teknis semata, ini wilayah yang memang membutuhkan aparat penegak hukum.
Lebih lanjut, kehadiran dua eks penyidik senior KPK, Heri Muryanto dan Novel Baswedan, menunjukkan bahwa standar integritas dan pengalaman investigatif tetap menjadi landasan utama, bukan loyalitas politik seperti yang dituduhkan.
Fakta Kebocoran dan Ketidakmampuan
Faktanya, Indonesia kehilangan triliunan rupiah per tahun akibat praktik penghindaran pajak, under-invoicing ekspor, dan pelanggaran bea cukai. Data Komisi XI DPR RI menyebutkan bahwa potensi kebocoran penerimaan negara mencapai Rp160 triliun per tahun hanya dari sektor perpajakan. Apakah kita akan terus membiarkan ini atas nama sektoralitas birokrasi?
Bahkan, dalam audit BPK semester I 2023, ditemukan pelanggaran administrasi dan penyimpangan pungutan negara di 11 Kementerian/Lembaga dengan potensi kerugian negara mencapai Rp9,4 triliun. Jadi pertanyaannya: jika sistem yang ada tak berjalan efektif, mengapa kolaborasi dan terobosan justru ditakuti
Wewenang Polri Tak Sebatas Lalu Lintas
Polri bukan sekadar pengatur lalu lintas atau penyidik kriminal biasa. UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 14 jelas menyebut Polri memiliki tugas membantu pelaksanaan tugas pemerintahan lain, termasuk perlindungan kekayaan negara dan penegakan hukum di bidang ekonomi. Maka, keterlibatan dalam mengamankan potensi penerimaan negara justru sesuai mandat, apalagi jika dilakukan dengan pengawasan yang ketat dan berbasis data.
Apa yang dilabeli sebagai “ekspansi liar” justru bisa dibaca sebagai bentuk evolusi kelembagaan dalam menjawab tantangan fiskal yang makin kompleks, multidimensi, dan transnasional. Negara butuh instrumen adaptif, bukan justru mundur ke konservatisme birokrasi.
Rebut Kepercayaan Lewat Aksi Nyata
Opini Liar yang menuduh Polri krisis kepercayaan. Itu betul — dan Polri tidak menutup mata. Namun upaya perbaikan kepercayaan tak bisa hanya melalui kosmetika internal atau publikasi pencitraan. Langkah konkret seperti pemberantasan mafia ekspor-impor, penyelundupan barang, dan manipulasi data fiskal adalah cara paling nyata untuk mengembalikan kredibilitas.
Aksi lebih penting dari narasi. Dan Satgas ini adalah bentuk aksi. Jika nanti Satgas ini terbukti menyimpang, kritiklah. Tapi menganggapnya gagal bahkan sebelum bekerja, adalah bentuk mentalitas defensif terhadap status quo yang sudah lama problematik.
Demokrasi Butuh Polisi Kuat, Bukan Dilemahkan
Dalam iklim global yang penuh infiltrasi ekonomi gelap dan korporasi predator, kekuatan negara harus hadir. Polisi yang kuat bukan musuh demokrasi — justru tanpa kepolisian yang berintegritas dan sigap, demokrasi hanya akan menjadi formalitas kertas. Polisi yang aktif melindungi penerimaan negara adalah bagian dari penegakan kedaulatan ekonomi.
Maka, tudingan bahwa Polri sedang membangun negara dalam negara hanyalah hiperbola retoris. Demokrasi bukan hanya soal pemilu dan wacana — tetapi soal memastikan keadilan fiskal, distribusi kekayaan, dan perlindungan terhadap hak negara atas pendapatan sahnya.
Penutup: Jangan Takut Pada Perubahan
Kritik diperlukan, tapi mari jujur: sebagian kritik hari ini lahir bukan dari kecintaan pada hukum, tetapi dari ketakutan pada hilangnya monopoli sektoral yang selama ini tidak efektif. Negara harus maju, tidak stagnan dalam birokrasi yang bersembunyi di balik pasal-pasal.
Kapolri mengambil risiko politik dengan membentuk Satgas ini. Tapi risiko demi kepentingan rakyat — untuk menutup kebocoran, menyelamatkan uang negara, dan mendukung APBN — adalah langkah yang layak didukung.
Kita butuh polisi yang berani & komitmen terhadap perilaku koruptif.
Jika hari ini Satgas ini digugat karena “tidak ada dasar hukum eksplisitnya”, maka esok kita akan tanya: mengapa saat negara butuh inovasi, yang muncul justru ketakutan, bukan solusi?
Antony Komrad
Analis Keamanan dan Hukum.
Koordinator KOMRAD Pancasila