Kuasa Hukum: MK Seperti Malas Membahas Perkara Gugatan AKAS

SuaraNegeri.com
15 Februari 2021 | 22:53 WIB Last Updated 2021-02-15T15:53:48Z
Kuasa Hukum: MK Seperti Malas Membahas Perkara Gugatan AKAS

SUARA NEGERI ■ Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, 15 Februari 2020, telah membacakan keputusannya terkait dengan Gugatan Arsyad Kasmar - Andi Sukma (AKAS), yaitu menolak dengan alasan bahwa gugatan yang dilayangkan melewati batas waktu yang telah ditentukan (kadaluarsa), yaitu tiga hari sejak diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Luwu Utara.

Menanggapi hal ini, Arsyad Kasmar, mengaku kecewa dengan keputusan Lembaga Tinggi Negara tersebut karena sama sekali tidak membahas hal substansi dari gugatan yang dilayangkannya.

“Sejujurnya saya kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi ini, karena hal substantif yang menjadi pokok gugatan sama sekali tidak ditanggapi oleh Majelis karena alasan sepele, padahal ini lembaga tinggi negara yang harusnya memikirkan permasalahan pemilihan umum yang menyangkut nasib bangsa Indonesia ke depan. Tapi apa boleh buat, kita harus legowo dan menghormati keputusan ini dan menjadikan ini pembelajaran bersama,” ujar Arsyad.

Arsyad mengaku bahwa hal substantif dari pokok gugatannya tersebut adalah terkait dengan kecurangan yang dilakukan oleh incumbent sebelum masa kampanye berlangsung, yakni menunda pelaksanaan 102 Pemilihan Kepala Desa dari 166 Desa yang ada di Kabupaten Luwu Utara.

Menurutnya, penundaan ini mengakibatkan kekosongan Kepala Desa di 102 Desa sehingga Bupati Incumbent berkewenangan untuk menempatkan Aparatur Sipil Negara sebagai Penjabat Sementara Kepala Desa, yang tentu saja dapat digunakan oleh incumbent untuk memobilisasi masyarakat desa agar dapat memilih incumbent.

“Saya tidak terlalu mempermasalahkan adanya kecurangan pada saat proses pemilihan umum, tapi yang dipermasalahkan adalah tindakan sebelum masa pemilihan umumnya. Ini ada tindakan yang jelas terstruktur karena melibatkan ASN dibawah kekuasaan Bupati, jelas sistematis karena pelaksanaan Pilkades seharusnya dilaksanakan bulan April atau Maret 2020 berdasarkan amanat undang-undang, peraturan Daerah, dan Peraturan Bupati tiba-tiba dibatalkan tanpa adanya revisi atas Peraturan Bupati," ujarnya.

"Padahal banyak desa yang sejak 2018 dikelompokkan Pilkadesnya untuk dilaksanakan di 2020, dan jelas sekali ini masif, karena terjadi di 102 desa dari 166 desa yang ada di Kabupaten Luwu Utara,” imbuhnya.

Arsyad mengaku tidak mempermasalahkan penundaan pilkades ini dari awal masa kampanye karena dugaan penyalahgunaan kewenangan ini baru bisa dibuktikan ketika hasil perhitungan suaranya benar-benar memenangkan incumbent di 102 Desa tersebut.

“Dugaan itu sudah ada sejak awal memang, tapi kan tidak bisa kita bilang kalau incumbent melakukan penyalahgunaan kewenangan untuk memenangkan dirinya, menang juga belum. Tapi ketika hasil perhitungannya keluar dan ternyata benar di 102 Desa tersebut Incumbent menang, baru kita bisa jadikan dugaan tersebut menjadi sebuah fakta,” ujar Arsyad menjelaskan berapi-api.

Sururudin,S.H., L.LM, selaku kuasa hukum dari pasangan Arsyad Kasmar dan Andi Sukma mengaku bingung dengan Mahkamah Konstitusi yang membuat aturan terlalu kaku.

Menurutnya, seharusnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang final and banding memberikan kesempatan bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan putusan seadil-adilnya.

“Hari ini kita mendengarkan Ketua Mahkamah Konstitusi membacakan putusan yang tidak lebih baik dari Putusan Pengadilan Negeri. Tidak ada argumentasi yang kokoh, tidak mau melihat fakta dan persoalan yang terjadi di daerah, sangat kaku dan hanya melihat dari aturan yang mereka buat sendiri. Ini kan Mahkamah Konstitusi yang berwenang memutus sengketa Pilkada, tapi mereka membuat aturan main sendiri yang mengakibatkan para pencari keadilan tidak mendapatkan keadilan yang dicari,” ungkapnya.

Alasan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang dilayangkan oleh AKAS (singkatan dari Arsyad Kasmar dan Andi Sukma) karena telah lewat batas waktu yang telah ditentukan oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 6 tahun 2020, yaitu 3 hari kerja sejak tanggal diumumkannya hasil rekapitulasi perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Luwu Utara (KPUD Luwu Utara).

Permasalahnnya adalah KPUD Luwu Utara baru mengumumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara Pilkada Luwu Utara pada hari Rabu tanggal 16 Desember jam 22.58 malam, secara logika tiga hari kerja setelah itu jatuh pada tanggal 21 Desember 2020 pukul 24.00, karena tanggal 19 Desember 2020 jatuh pada hari sabtu yang bukan hari kerja yang berlaku umum di Indonesia. Akan tetapi Mahkamah Konstitusi menentukan lain, bahwa hari pertama itu adalah tanggal 16 Desember 2020 dan hari ketiga adalah tanggal 18 Desember yang jatuh pada hari Jumat.

Menurut Sururudin, hal ini merupakan suatu hal yang aneh jika hari kerja yang dihitung oleh Mahkamah Konstitusi hanya dihitung 1 jam ditanggal 16 Desember 2020. 

“Ini kan suatu hal yang janggal, masa MK memberikan kesempatan 3 hari kerja tapi hari pertamanya hanya 1 jam saja, kalau begitu jangan bilang 3 hari dong, faktanya kita hanya punya 2 hari kerja yaitu hari kamis dan hari jumat. Saya tidak habis pikir apa yang mendasari MK membuat aturan yang aneh seperti itu. Memangnya jam 11 malam merupakan hari kerja normal? Siapa yang kerja normal di jam 11 malam?” ungkapnya.

Sururudin mengatakan, bahwa seharusnya Mahkamah Konsititusi tidak terlalu kaku dalam membuat aturan dan melihat bahwa setiap gugatan yang masuk adalah sebuah permasalahan bangsa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi generasi penerus. 

Menurutnya, harusnya jangan kaku seperti itu-lah, harusnya hakim memberikan pertimbangan dengan tidak menjadikan 1 jam sebagai 1 hari kerja dan membahas pokok permasalahan gugatanya. Ini kan isunya sama dengan Pilkada serentak di 2024 dimana akan ada Penjabat Sementara Bupati, Walikota dan Gubernur yang akan ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.

"Harusnya hakim MK melihat hal itu, dan menjadikan apa yang terjadi di Kabupaten Luwu Utara sebagai preseden untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada proses Pilkada Serentak 2024 nanti,” paparnya.

Sururudin menambahkan bahwa dirinya khawatir bahwa hal ini malah memperburuk citra Mahkamah Konstitusi di masa-masa yang akan datang “kita bisa melihat sejak jaman Prof. Jimly Asshiddiqie hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi berubah-ubah bergantung dari siapa yang berkuasa di MK, ya contohnya peraturan yang dibuat oleh MK itu sendiri, sejak pendaftaran gugatan saya sudah merasa janggal, kita hanya dikasih kesempatan perbaikan dan penambahan hanya satu kali, menurut MK perbaikan dan penambahan adalah hal yang sama, perbaikan adalah penambahan dan penambahan adalah perbaikan padahal itu dua hal yang berbeda.

Dia menambahkan, MK tidak memikirkan jarak wilayah yang jauh dari Jakarta, dikasih kesempatan online, tapi belum tentu ada sinyal internet di daerah yang jauh itu. MK seperti malas membahas perkara yang substantif dan menjebak para pencari keadilan dengan aturan-aturan yang kaku.

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada Pasal 7 (2) dikatakan bahwa permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh termohon. Sedangkan makna tentang hari kerja itu sendiri diatur dalam Pasal 9 ayat (7) yang berbunyi: Hari Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberlakukan sejak pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB.

Hal ini berarti jika KPUD mengumumkan pada tanggal 16 Desember 2020 pukul 22.58, maka Mahkamah Konstitusi menghitung 1 jam 2 menit tersebut sebagai satu hari kerja karena aturan pada pasal 9 ayat (7) dikatakan bahwa hari kerja diberlakukan sejak pukul 8 pagi WIB sampai pukul 12 tengah malam.

Menurut Sururudin, jika membaca secara baik dan benar Pasal 7 ayat (2) tersebut, seharusnya Mahkamah Konstitusi menghitung 3 hari kerja setelah pengumuman oleh KPUD, yaitu pukul 08.00 WIB sampai pukul 24.00 satu hari setelah pengumuman.

“Coba ditanya ke ahli Bahasa, khususnya Bahasa Hukum ya, permohonan diajukan paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan, misalnya diumumkan jam 23.59, jadi kita mulai menghitung hari kerjanya setelah KPUD mengumumkan, yaitu pukul 08.00 WIB sampai 24.00 WIB yang acuannya dimulai sejak jam menit detik pengumuman. Tidak ada frasa “terhitung sejak tanggal diumumkan”, kalau ada kata “sejak tanggal diumumkan” maka jelas hari itu dihitung meskipun hanya 1 menit. Ini tidak ada kata “tanggal” di aturannya, yang ada “terhitung sejak diumumkan” artinya jam menit detik pengumuman yang menjadi acuan lalu mulai menghitung hari kerja setelah itu, maka harusnya gugatan kami dibahas pada Musyawarah Hakim dan putusannya akan lebih bermutu,” pungkasnya.

■ Adinda

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kuasa Hukum: MK Seperti Malas Membahas Perkara Gugatan AKAS

Trending Now

Iklan