SUARA NEGERI | BOGOR — Gaya pemerintahan Prabowo Subianto dalam memakmurkan rakyat melalui program-programnya dalam satu tahun ini disorot publik, utamanya terkait stimulus ekonomi, dan lainnya dan membandingkannya dengan gaya pemerintahan Soeharto pada era Orde Baru ternyata ada kemiripan, khususnya dari sisi ‘memakmurkan rakyat’.
Demikian hal tersebut disampaikan Ekonom Thoriq Aziz, dalam diskusi terbatas di Ibnu Khaldun Institut, pada Sabtu (1/11) di Bogor.
Beberapa Fakta Penting Program Prabowo - Purbaya dan efeknya, kata Thoriq, sangat kental dengan gaya pemerintahan Soeharto dengan program REPELITA.
Menurutnya, penekanan pada program berskala besar yang menyentuh lapisan bawah (contoh: makan gratis, pemeriksaan kesehatan gratis), punya aspek populis dan langsung ke rakyat.
Ia menyebut ada retorika kuat, bahwa sistem ekonomi yang cocok bagi Indonesia adalah “Ekonomi Pancasila” dan bahwa rakyat harus menikmati kemajuan.
"Saat Soeharto, pembangunan dilakukan dalam kerangka “Repelita” jangka panjang, dengan stabilitas politik sebagai prasyarat utama, dan kemudian pemerataan melalui program desa, koperasi, pertanian. Ini identik dengan program Kopdes Merah Putih saat ini," kata dia.
Hanya bedanya, lanjut Thoriq, Prabowo – Purbaya dihadapkan pada tantangan global berbeda seperti inflasi global, rantai pasok internasional, demokrasi dan sejumlah langkah stimulus bersifat jangka pendek (8+4 paket) untuk “mengejar” efek cepat.
"Memang ada klaim bahwa kesejahteraan meningkat, namun tantangan tertentu masih ada, misalnya, apakah peningkatan kesejahteraan itu merata, atau hanya sebagian masyarakat yang merasakan, apakah program gratis itu berkelanjutan atau hanya temporer," ujarnya bertanya.
Mengapa gaya Soeharto dalam memakmurkan rakyat masih dianggap benchmark?
Ia menyebut, era Soeharto membangun kerangka besar, stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan pemerataan. Contoh, program “Trilogi Pembangunan” (pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan pembangunan, stabilitas nasional) sebagai pedoman utama.
"Program program seperti koperasi, desa tertlinggal, dan pembangunan infrastruktur ditujukan langsung ke rakyat di tingkat bawah. Hal itu pun kini terjadi saat ini," jelasnya.
Menjawab pertanyaan peserta diskusi, Apakah ini gaya “memakmurkan rakyat” yang mirip Soeharto?
Thoriq menandaskan memang ada persamaan. Indikatornya, kata dia, Prabowo fokus pada penurunan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja sebagai indikator kesejahteraan rakyat, mirip dengan apa yang dilakukan Soeharto pada masa awal Orde Baru (pertumbuhan tinggi, pemerataan pembangunan).
"Jadi, bisa dikatakan bahwa Prabowo mengambil dan mencerminkan beberapa elemen penting dari gaya kepemimpinan era Soeharto, termasuk soal militer, citra pemimpin kuat, fokus pada pembangunan, nasionalisme, namun bukan meneruskan secara persis maupun identik gaya Orde Baru," pungkasnya.
Namun demikian, imbuh Thoriq, lingkungan politik, ekonomi, media, dan masyarakat Indonesia saat ini sangat berbeda dengan era Soeharto, sehingga penerapan gaya kepemimpinan tersebut juga mengalami adaptasi dan pembatasan.
"Jadi menuruit saya, memang ada warisan gaya, tetapi tidak, atau bukan salinan langsung," tukasnya. (gus)


