SUARA NEGERI | JAKARTA — Sebanyak 61 pelajar meregang nyawa akibat ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut seluruh jenazah korban telah ditemukan, termasuk tujuh bagian tubuh yang masih dalam proses identifikasi.
Tragedi ini memicu desakan dari Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) agar aparat penegak hukum menindaklanjuti kasus tersebut secara transparan dan tuntas.
Ketua PB PII Bidang Riset dan Pengembangan Data, Gusti Rian Saputra, menyebut kejadian ini bukan sekadar musibah, melainkan bentuk nyata kelalaian struktural dan lemahnya pengawasan negara terhadap keselamatan pelajar.
"Enam puluh satu pelajar meninggal dunia bukan karena takdir semata, tapi karena sistem yang lalai. Negara wajib hadir untuk mengusut tuntas siapa yang bertanggung jawab atas izin bangunan yang diduga bermasalah ini," tegas Gusti Rian dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (9/10).
Ia menyoroti bahwa indikasi pelanggaran izin mendirikan bangunan (IMB) dan lemahnya pengawasan teknis konstruksi harus menjadi fokus utama penyelidikan.
Menurutnya, bangunan lembaga pendidikan tidak boleh dibangun tanpa standar keselamatan yang ketat.
"Kami mendorong Polri untuk melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan kelalaian dan pelanggaran izin pembangunan. Jangan berhenti di permukaan. Ini menyangkut nyawa generasi muda," ujar Gusti Rian.
PB PII juga menegaskan lima poin tuntutan utama sebagai langkah advokasi pelajar.
Pertama, pengusutan hukum secara transparan dan tuntas terhadap seluruh pihak yang terlibat.
Kedua, audit nasional perizinan bangunan lembaga pendidikan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
Ketiga, pemulihan hak pelajar korban melalui santunan dan rehabilitasi psikologis.
Keempat, evaluasi regulasi pengawasan lintas kementerian terkait keselamatan pendidikan.
Dan kelima, pelibatan organisasi pelajar dalam pemantauan dan advokasi kebijakan pendidikan aman.
"Pelajar tidak boleh hanya menjadi korban. Kami harus dilibatkan dalam memastikan sekolah dan pesantren di seluruh Indonesia memenuhi standar keselamatan," tambahnya.
Tragedi Ponpes Al Khoziny menjadi sinyal bahaya atas lemahnya sistem pengawasan pendidikan di Indonesia. Menurut catatan awal, mushala yang ambruk diduga memiliki izin bangunan yang belum lengkap dan tidak sesuai dengan peraturan teknis.
"Kalau izin bangunan bermasalah, kalau konstruksi tak sesuai standar, itu bukan lagi musibah, itu kelalaian fatal. Dan dalam hukum, kelalaian yang menimbulkan korban jiwa jelas punya konsekuensi pidana," jelas Gusti Rian, menegaskan posisi PB PII untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
PB PII menyatakan siap mengerahkan jaringan pelajar di berbagai daerah untuk melakukan pemantauan independen terhadap kondisi bangunan sekolah dan pesantren. Organisasi tersebut juga menyerukan agar pemerintah membuka audit publik terkait izin lembaga pendidikan berbasis asrama.
"Kami ingin memastikan tidak ada lagi pelajar yang belajar di bawah bayang-bayang maut. Pendidikan seharusnya memerdekakan, bukan mengorbankan," pungkas Gusti Rian.(*)