SUARA NEGERI | JAKARTA — Indonesia kerap menyebut dirinya sebagai negara maritim, namun dalam praktik kebijakan nasional, laut belum pernah benar-benar menjadi prioritas utama.
Salah satu bukti paling nyata tampak dalam struktur anggaran negara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) penjaga utama sumber pangan laut mendapat alokasi yang jauh lebih kecil dibandingkan kementerian lain yang berhubungan dengan ketahanan pangan.
Padahal sektor kelautan dan perikanan berperan vital bagi kehidupan masyarakat. Ikan merupakan sumber protein utama di Indonesia, bahkan lebih dominan dibandingkan daging sapi atau ayam di banyak daerah pesisir.
Sayangnya, orientasi kebijakan pangan nasional masih terjebak dalam paradigma “darat” yang menempatkan beras, jagung, dan kedelai sebagai pilar utama ketahanan pangan. Akibatnya, Kementerian Pertanian menjadi magnet anggaran terbesar, sementara laut hanya menerima serpihan perhatian.
Secara geografis, Indonesia memiliki luas laut sekitar 6,4 juta kilometer persegi, terdiri dari 3,2 juta km² perairan teritorial dan 3,1 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dengan garis pantai sepanjang lebih dari 108 ribu kilometer.
Potensi ekonominya luar biasa, berbagai kajian memperkirakan nilai ekonomi kelautan Indonesia mencapai USD 1,3 triliun per tahun, dengan sektor perikanan tangkap berpotensi menyumbang USD 70–80 miliar apabila tata kelolanya dibenahi secara berkelanjutan. Namun, realisasi dari potensi itu baru sekitar 10–15 persen.
Hambatannya berlapis, lemahnya tata kelola, tumpang tindih regulasi, minimnya investasi infrastruktur maritim, dan ketiadaan visi jangka panjang.
Reformasi menyeluruh mulai dari transparansi izin kapal, penguatan industri pengolahan di daerah, hingga digitalisasi rantai pasok dapat menggandakan pendapatan nasional dari sektor perikanan sekaligus menciptakan jutaan lapangan kerja di wilayah pesisir.
Dari sisi politik, sektor kelautan kalah kuat dibanding sektor pertanian darat. Nelayan kecil tidak memiliki kekuatan lobi sekuat kelompok tani atau industri pangan besar. Mereka hidup tersebar dan tanpa representasi politik signifikan, sehingga aspirasi mereka sering kalah dalam pembahasan anggaran di parlemen. DPR pun cenderung memilih program yang cepat terlihat hasilnya secara politik seperti bantuan benih, alat tangkap, atau subsidi langsung daripada investasi jangka panjang seperti riset laut, pengawasan kapal ilegal, atau pembangunan industri pengolahan ikan.
Masalah lain muncul dari lemahnya struktur industri perikanan nasional. Kawasan timur Indonesia kaya ikan, tetapi miskin infrastruktur logistik dan pengolahan. Akibatnya, nilai tambah ekonomi dari hasil laut banyak hilang di rantai distribusi.
Sementara itu, beberapa kasus korupsi di tubuh KKP membuat kepercayaan publik dan politik terhadap sektor ini menurun, sehingga pemerintah enggan menambah anggaran tanpa jaminan reformasi tata kelola yang kuat.
Ironisnya, di tengah ancaman krisis pangan dan iklim global, laut justru seharusnya menjadi benteng utama ketahanan pangan Indonesia. Di saat negara-negara lain mulai berebut sumber pangan alternatif dan energi biru, Indonesia masih memandang laut sebagai simbol romantis, bukan strategi ekonomi.
Dalam konteks geopolitik dunia, laut kini menjadi arena baru perebutan pengaruh. Negara-negara besar seperti China, Amerika Serikat, dan India berlomba memperkuat kekuatan maritimnya melalui strategi “Blue Economy”, “Maritime Silk Road”, dan “Indo-Pacific Strategy”.
Samudra Hindia dan Pasifik kini menjadi pusat perebutan kepentingan strategis bukan hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk pangan, energi, dan data bawah laut.
Indonesia berada di jantung perebutan itu, menguasai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur vital perdagangan global dari Samudra Hindia ke Pasifik. Posisi ini sangat strategis, tetapi belum dioptimalkan.
Infrastruktur pelabuhan, logistik dingin, dan riset oseanografi masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand, yang kini justru memimpin ekspor perikanan dunia.
Dalam lanskap geopolitik baru ini, memperkuat sektor kelautan bukan sekadar urusan ekonomi nasional, melainkan langkah strategis untuk menjaga kedaulatan pangan, energi, dan wilayah. Negara yang menguasai laut, menguasai jalur pasok global dan sumber protein masa depan.
Tanpa kebijakan maritim yang kuat, Indonesia akan terus menjadi penonton di jalur lautnya sendiri sebuah paradoks bagi negeri yang 70 persen wilayahnya adalah perairan.
Kini saatnya Indonesia melakukan pergeseran paradigma besar: dari ekonomi darat menuju ekonomi biru yang berkelanjutan. KKP tidak boleh lagi diperlakukan sebagai pelengkap kebijakan pangan, melainkan sebagai garda depan dalam menjaga kedaulatan pangan, energi, dan ekologi negeri bahari ini.
Dengan tata kelola laut yang transparan, berbasis riset, dan berorientasi industri, Indonesia bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan protein nasional, tetapi juga tampil sebagai kekuatan maritim dan eksportir pangan laut terbesar di Asia Tenggara. Sebab hanya dengan laut yang dikelola secara visioner, Indonesia benar-benar bisa membuktikan dirinya sebagai negara bahari sejati bukan sekadar dalam semboyan, tetapi dalam tindakan nyata.(sa/by)