Muktamar X PPP: Rumah Besar Umat Itu Terancam Hanya Tinggal Nama

SuaraNegeri.com
Minggu, 28 September 2025 | 07:21 WIB Last Updated 2025-09-28T00:26:06Z

SUARA NEGERI | JAKARTA — Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali menggelar Muktamar X di Ancol, Jakarta Utara. Muhammad Mardiono ditetapkan sebagai Ketua Umum secara aklamasi. Namun di balik keputusan yang tampak mulus, riak konflik dan intrik justru menyingkap wajah rapuh partai berlambang Ka'bah ini.

Dalam tradisi organisasi Islam di Indonesia, muktamar adalah forum tertinggi untuk menentukan kepemimpinan, arah kebijakan, dan garis perjuangan. Bagi NU maupun Muhammadiyah, muktamar menjadi ajang musyawarah, rekonsiliasi, dan penegasan visi keummatan.

PPP mengadopsi model ini sebagai forum tertinggi partai. Namun ketika muktamar berubah sekadar menjadi mekanisme aklamasi tanpa kontestasi sehat, maknanya sebagai wadah musyawarah dan legitimasi kader pun terkikis.

PPP lahir pada 5 Januari 1973 dari fusi empat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, Perti) atas dorongan Orde Baru. Tujuannya menyatukan kekuatan politik umat Islam. Tetapi sejak awal, konflik internal dan intervensi pemerintah menjadi batu sandungan.

Pasca Reformasi, fragmentasi makin dalam: NU melahirkan PKB, Parmusi melahirkan PBB, sementara banyak kader muda memilih partai baru. PPP semakin terdesak sebagai partai menengah dengan citra yang kerap diwarnai konflik.

Data pemilu sejak 1999 menunjukkan penurunan konsisten:

1999: 11,3 juta suara (10,71%), 58 kursi
2004: 9,25 juta suara (8,15%), 58 kursi
2009: 5,54 juta suara (5,33%), 38 kursi
2014: 8,15 juta suara (6,53%), 39 kursi
2019: 6,32 juta suara (4,52%), 19 kursi

Meski sempat ada pemulihan pada 2014, tren penurunan jangka panjang tetap tak terbendung. Pemilu 2019 mencatat titik terendah hanya 19 kursi DPR, jumlah paling sedikit sejak Reformasi.

Menurut Fredi Moses Ulemlem, pengamat politik dan hukum, penurunan suara ini berhubungan langsung dengan pola muktamar PPP.

"Data sejak 1999 menunjukkan PPP terus kehilangan relevansi politik. Muktamar X yang berlangsung aklamasi tanpa ruang kontestasi memperkuat citra bahwa PPP lebih dikendalikan elite ketimbang menyerap aspirasi kader dan massa," ungkap Fredi, pada Minggu, (28 September 2025).

Fredi menegaskan, dari sisi hukum organisasi, aklamasi yang menutup ruang demokrasi internal hanya memperkuat oligarki.

"Dalam kondisi tren suara merosot, PPP tidak punya kemewahan untuk mengabaikan legitimasi internal. Jika dibiarkan, partai ini makin tampak bukan sebagai kendaraan umat, melainkan sekadar alat tawar-menawar politik," tambahnya.

PPP yang dulunya menampilkan wajah Islam moderat kini kesulitan mempertahankan relevansi, terjepit antara partai Islam lain dan partai nasionalis. Misal dengan PKB yang masih kuat karena basis NU dan jaringan pesantren. Dan juga dengan PKS yang konsisten menjaga kaderisasi, ideologi, dan citra bersih.

Dengan muktamar aklamasi, konflik internal, dan tren suara yang terus merosot, PPP menghadapi dilema eksistensial. Tanpa reformasi internal yang nyata, rumah besar umat itu terancam hanya tinggal nama.

Kini kedepan masihkah PPP mampu menjembatani elite dan basis, legitimasi dan kekuasaan, agar tetap layak menyandang nama "Partai Persatuan"?(sa/by)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Muktamar X PPP: Rumah Besar Umat Itu Terancam Hanya Tinggal Nama

Trending Now

Iklan