SUARA NEGERI | JAKARTA — Keluarga Besar Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (KB APTSI) menggelar Simposium Nasional bertajuk “Membandingkan Hasil Tambang Batubara berdasar UU No. 4 Tahun 2009 (IUP) dengan UU No. 11 Tahun 1967 (Kontrak Karya)” pada Sabtu (20/9) di Gedung MUSKITNAS STOVIA, Jakarta Pusat.
Acara ini juga menjadi momentum peresmian Indonesia Financial Watch (IFW), sebuah divisi baru KB APTSI yang bertugas mengawasi pengelolaan keuangan publik, khususnya penerimaan negara dari sektor sumber daya alam (SDA).
Ketua Umum KB APTSI, Hendra Zon mengatakan simposium ini digelar dalam rangka mendukung pernyataan Presiden Prabowo dalam sidang tahunan MPR RI pada tanggal 15 Agustus 2025, bahwa misi arsitektur APBN 2026, adalah "Sumber Daya Alam harus di kelola demi Rakyat".
Bertepatan pula dengan setahun berpulang nya Ekonom dan Politisi Nasional Faisal Basri pada tanggal 5 September tahun lalu dalam perjuangan menegakkan amanat konstitusi UUD 45, pasal 33, ayat 3 yang berbunyi; "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam nya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"
Negara Pernah Untung Besar dengan Kontrak Karya
Pada era UU No. 11/1967, sistem kontrak karya membuat negara tetap menjadi pemilik wilayah tambang. Perusahaan swasta hanya berstatus kontraktor dengan kewajiban berbagi hasil produksi: 60% untuk negara, 40% untuk kontraktor, ditambah pajak. Model ini memberi pemerintah kendali penuh dan penerimaan yang relatif besar.
IUP di Era Reformasi: Negara Hanya Dapat Royalti
Situasi berubah sejak diberlakukannya UU No. 4/2009, di mana perusahaan swasta bisa memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dengan pola ini, negara hanya memperoleh royalti dan pajak, sementara kendali tambang praktis berada di tangan swasta.
Simulasi yang dipaparkan menunjukkan potensi kerugian negara yang sangat besar. Sebagai contoh, dari ekspor 1 juta ton batubara senilai USD 100 juta, negara hanya menerima sekitar 10% atau USD 10 juta (±Rp140 miliar).
Angka ini jauh lebih rendah dibanding era kontrak karya yang memberi negara bagian terbesar dari hasil produksi.
“Setiap tahun negara kehilangan potensi triliunan rupiah dari tambang hanya karena perubahan regulasi ini,” ungkap Dr. Ahmad Syahroni, Kepala IFW KB APTSI.
Sorotan Narasumber
Ahmad Syahroni (IFW KB APTSI): UU 4/2009 menurunkan penerimaan negara dan melemahkan amanat Pasal 33 UUD 1945. IFW akan mendorong gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar undang-undang ini dibatalkan. Dr. Marwan Batubara (IRESS): Menilai perubahan UU Minerba sarat kepentingan oligarki. “BUMN kini hanya menguasai 5–10% sektor batubara, selebihnya didominasi swasta besar,” tegasnya. Prof. Eggi Sudjana: Mengingatkan bahwa tata kelola SDA tidak hanya soal regulasi, tapi juga moralitas. Dengan teori OST-JUBEDIL (Obyektif, Sistematis, Toleran – Jujur, Benar, Adil), ia menyerukan perlunya pemimpin yang berintegritas agar SDA benar-benar dikelola untuk rakyat.
Pasal Bermasalah dalam UU 4/2009
Narasumber menyoroti sejumlah ketentuan bermasalah, di antaranya: Jaminan perpanjangan kontrak yang memberi keuntungan besar kepada perusahaan tanpa evaluasi yang memadai. Pasal kriminalisasi masyarakat (Pasal 162) yang bisa mempidanakan warga yang menolak aktivitas tambang di lingkungannya. Cacat formil dan material dalam penyusunan UU, sarat kepentingan oligarki, serta mengabaikan partisipasi publik.
Selain itu, praktik korupsi dinilai rawan terjadi pada tiga titik utama: penerimaan, belanja, dan perizinan. Karena itu, KB APTSI mengusulkan pembentukan Kementerian Penerimaan Negara untuk fokus mengelola Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk pemulihan aset hasil korupsi.
Peresmian Indonesia Financial Watch (IFW)
Sebagai langkah konkret, KB APTSI meresmikan Indonesia Financial Watch (IFW) yang dipimpin oleh Ahmad Syahroni. Lembaga ini diharapkan menjadi “mata dan telinga masyarakat” dalam mengawasi potensi penyimpangan keuangan publik, khususnya dari sektor SDA yang selama ini rawan kebocoran.
Komitmen KB APTSI
Hendra Zon menegaskan perjuangan menegakkan amanat Pasal 33 UUD 1945 akan terus dilanjutkan. “Kekayaan alam adalah anugerah bangsa. Negara harus berani mengoreksi regulasi yang merugikan rakyat. Perjuangan ini bukan sekadar teknis hukum, tetapi amanat konstitusi dan moral bangsa untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegasnya. (Ibrahim Aji)