Hambalang, IKN, JLS: Cermin Ambisi Politik dan Tata Kelola Pembangunan Nasional

SuaraNegeri.com
Minggu, 07 September 2025 | 10:42 WIB Last Updated 2025-09-07T03:42:16Z

SUARA NEGERI | JAKARTA — Indonesia memiliki sejarah panjang dengan megaproyek ambisius. Dari Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang di Bogor, Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, hingga Jalan Lintas Selatan (JLS) yang membentang dari Banten hingga Banyuwangi. Ketiganya sama-sama mengundang sorotan publik, tetapi berbeda secara fundamental dalam tujuan, pendanaan, dan tantangan.

Hambalang: Ambisi yang Mangkrak

Proyek Hambalang diluncurkan dengan tujuan mulia: mencetak pusat olahraga nasional berstandar internasional. Namun sejak 2012, proyek ini terhenti karena dua faktor utama yaitu 

1. Kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat tinggi.

2. Masalah geoteknik, di mana lokasi pembangunan rawan longsor.

Hambalang sepenuhnya dibiayai APBN melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, namun berakhir menjadi simbol kegagalan tata kelola proyek negara. Dalam literatur governance studies, kasus Hambalang sering dikaitkan dengan lemahnya institutional accountability serta tidak adanya risk management yang memadai (North, 1990; Fukuyama, 2013).

IKN: Ujian Masa Depan Indonesia

Berbeda dengan Hambalang, IKN dirancang sebagai proyek strategis nasional dengan visi jangka panjang:

Tujuan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta, mengurangi beban ekologis dan demografis ibu kota lama.

Pendanaan: hanya 20% ditopang APBN, sisanya 80% diharapkan dari investasi swasta, BUMN, dan skema KPBU (public-private partnership).

Model ini sejalan dengan konsep blended financing dalam teori pembangunan berkelanjutan (Todaro & Smith, 2015), di mana negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor, melainkan membuka ruang bagi sektor privat. 

Namun, kritik publik tetap muncul, terutama terkait risiko pembengkakan anggaran, minimnya keterlibatan publik, dan ancaman terhadap ekologi Kalimantan Timur.

Jalan Lintas Selatan (JLS): Konsistensi Lintas Rezim

JLS adalah proyek jalan raya sepanjang lebih dari 1.500 km yang mulai digagas sejak awal 2000-an. Tujuannya untuk

1. Membuka akses wilayah selatan Jawa yang selama ini terisolasi.

2. Mendorong pariwisata, perdagangan, serta pemerataan pembangunan.

Pendanaan JLS murni dari APBN, namun diselesaikan bertahap karena beban fiskal yang besar. Tantangannya mencakup pembebasan lahan, kondisi geografis pegunungan dan pesisir, serta keterbatasan anggaran.

Dari perspektif developmental state theory (Johnson, 1982), JLS memperlihatkan bagaimana kesinambungan pembangunan dapat terjadi lintas rezim, meskipun lambat. Ini menunjukkan bahwa path dependency dalam kebijakan infrastruktur bisa bertahan, asalkan ada komitmen politik dan keberlanjutan fiskal.

Praktisi hukum dan politik, Fredi Moses Ulemlem, menilai ketiga megaproyek tersebut mencerminkan wajah berbeda tata kelola pembangunan di Indonesia,

“Hambalang adalah cermin buruknya tata kelola, IKN adalah ujian masa depan, sementara Jalan Lintas Selatan adalah simbol konsistensi lintas rezim. Dari sini kita belajar, proyek raksasa tidak cukup hanya dengan visi besar, tapi butuh pengawasan hukum yang ketat, transparansi politik, dan keberlanjutan anggaran,” jelasnya pada Minggu  (7/9).

Fredi menekankan, kegagalan Hambalang harus menjadi pelajaran agar IKN tidak bernasib serupa, dan JLS menjadi bukti bahwa kesinambungan pembangunan hanya mungkin jika negara konsisten.

Dari kasus Hambalang, IKN, dan JLS, dapat dirangkum tiga pelajaran ilmiah penting:

1. Tata Kelola (Governance): Kegagalan Hambalang menegaskan pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan manajemen risiko dalam proyek publik.

2. Skema Pendanaan (Financing Model): IKN menawarkan pendekatan baru melalui PPP, namun keberhasilannya sangat bergantung pada daya tarik investasi serta kredibilitas pemerintah.

3. Keberlanjutan Pembangunan (Sustainability): JLS menjadi contoh proyek jangka panjang yang membutuhkan konsistensi lintas pemerintahan, sejalan dengan teori policy continuity.

Hambalang, IKN, dan Jalan Lintas Selatan sama-sama lahir dari ambisi besar. Namun nasib mereka berbeda:

1. Hambalang mangkrak karena korupsi dan masalah teknis.
2. IKN masih berjalan di tengah pro-kontra publik.
3. JLS menunjukkan wajah pembangunan yang berkelanjutan meski lamban.

Ke depan, masyarakat berharap megaproyek ini tidak lagi menjadi catatan hitam, tetapi ikon keberhasilan pembangunan Indonesia yang berintegritas, transparan, dan berkelanjutan.(sa/by)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hambalang, IKN, JLS: Cermin Ambisi Politik dan Tata Kelola Pembangunan Nasional

Trending Now

Iklan