Penulis: Freddy Moses Ulemlem, SH, MH
Pernyataan Ali Ketua Harian dari PSI yang menyentil soal politik “yang tak pernah menghasilkan presiden” dan mengusik trah Sukarno bukan sekadar manuver verbal. Ini adalah langkah yang sengaja diarahkan untuk memasuki ceruk merah, ruang historis, ideologis, dan emosional yang selama puluhan tahun menjadi rumah besar PDI-P.
Namun untuk memahami respons publik dan arah pertarungan politiknya, kita perlu meninjau perjalanan panjang PDI-P serta kegagalan para rivalnya dalam menggoyang konsistensi ideologis banteng.
1. Menyentuh Sukarnoisme: PSI Bermain di Area Berbahaya
Ketika Ali menyinggung sejarah politik Megawati dan menyebut kubu “yang tidak pernah melahirkan presiden”, ia sebenarnya menyentuh nadi terdalam PDI-P: legitimasi historis dan trah Sukarno.
Bagi PDI-P, Sukarnoisme bukan simbol tempelan. Ia adalah ideologi yang dirawat, diwariskan, dan menjadi identitas kolektif kader hingga akar rumput.
Serangan ke wilayah ini bukan manuver biasa. Ia terbaca sebagai tantangan langsung terhadap fondasi ideologis banteng.
2. Momentum PSI: Basis Banteng Memang Sedang Cair—Tapi Tak Kosong Nilai
PSI melihat peluang politik:
* Prabowo–Gibran menang di Jawa Tengah, wilayah basis PDI-P.
* Pemilih muda condong pada politik populis yang diwakili Jokowi–Gibran.
* Fragmentasi di tingkat lokal membuka ruang baru.
Namun cairnya basis bukan berarti hilangnya fondasi. Ceruk merah bukan sekadar komoditas elektoral, melainkan ruang ideologis yang telah berakar lebih dari dua dekade. Banyak pemain gagal mengerti hal ini.
3. Sempalan Banteng: PNBK dan PDP Hilang karena Tidak Punya Ideologi
PNBK dan PDP, dua sempalan PDI-P paling awal, pernah mencoba menjadi alternatif banteng. Namun keduanya hancur tanpa jejak.
Pelajarannya jelas:
PDI-P bukan hanya mesin politik; ia kultur.
Butuh lebih dari sekadar nama besar dan simbol merah untuk merebut ceruk Sukarnois.
4. Demokrat Berkuasa 10 Tahun, Tapi Tetap Tak Bisa Menggeser PDI-P
Jika ada partai yang benar-benar pernah menantang PDI-P, itu adalah Demokrat di era SBY (2004–2014). Dengan kekuasaan penuh:
* Demokrat memimpin negara dua periode.
* PDI-P menjadi oposisi keras.
* Ketegangan SBY–Megawati mendominasi lanskap politik nasional.
Namun hasil jangka panjangnya justru paradoks:
* PDI-P tetap berdiri kokoh.
* Suara Demokrat rontok setelah SBY turun takhta.
* PDI-P bangkit dan menang pemilu 2014 dan 2019.
Ini bukti penting: kekuasaan negara tidak otomatis menggerus ideologi.
5. Gerindra Menang Pilpres, Tapi Ceruk Banteng Tak Tersentuh
Kini Gerindra memegang tampuk kepresidenan. Namun pola yang sama berulang:
* Gerindra tumbuh, tapi bukan dengan mencuri suara PDI-P.
* Basis banteng tetap stabil di akar rumput.
* Dominasi eksekutif tidak otomatis mengalihkan loyalitas ideologis.
Kemenangan Pilpres tidak sama dengan kemenangan ideologi.
6. PDI-P: Satu-satunya Partai yang Berhasil Konsisten di Era Reformasi
Inilah faktor pembeda paling signifikan.
Sejak 1999, PDI-P adalah satu-satunya partai yang:
* Menang pemilu, lalu kalah, lalu menang lagi.
* Bertahan menjadi oposisi tanpa kehilangan basis.
* Bangkit dari konflik internal besar.
* Memiliki struktur yang masif dan teruji puluhan tahun.
* Menjaga kontinuitas ideologi Sukarnoisme tiga generasi pemilih.
Di tengah turbulensi reformasi, hanya PDI-P yang mampu membangun tradisi politik yang konsisten, tidak sekadar mengikuti arus kekuasaan.
Faktor penentunya jelas:
Kepemimpinan Megawati yang tegas menjaga ideologi, disiplin organisasi, dan kesinambungan sejarah partai.
Partai lain muncul–tenggelam. PDI-P justru menua, matang, dan bertahan.
7. Kesimpulan: PSI Boleh Ribut, tapi Ceruk Merah Punya Gerbang Ideologi
Manuver PSI yang menyentil trah Sukarno mungkin menarik perhatian publik, tetapi masuk ke ceruk merah bukan kerja retorika. Ia menuntut:
* Ideologi yang konsisten
* Akar rumput yang terpelihara
* Struktur organisasi yang mapan
* Rekam jejak yang panjang
* Kepemimpinan yang stabil
PDI-P telah menghadapi:
* Sempalan banteng – tumbang
* Dua rezim kekuasaan – bertahan
* Lawan-lawan besar seperti Demokrat dan Gerindra – tetap kokoh
* Pergesaran generasi pemilih – tetap relevan
PSI kini mencoba masuk gelanggang yang sama. Tantangannya sederhana tapi berat:
Apakah PSI siap melawan bukan hanya PDI-P sebagai partai, tetapi PDI-P sebagai tradisi politik? Atau sejarah kembali berulang: penantang datang–pergi, sementara banteng tetap berdiri, kokoh di jalur ideologinya?(*)


