SUARA NEGERI | JAKARTA — Sebuah babak baru bagi keadilan ekologis dan kedaulatan rakyat adat akhirnya terbuka. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa masyarakat adat berhak membuka lahan di kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah pusat, selama aktivitas itu bukan untuk tujuan komersial.
Putusan ini tercatat dalam perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024, dan menjadi bagian dari dikabulkannya sebagian uji materi atas UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa aturan izin membuka lahan tidak boleh membelenggu masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun di kawasan hutan.
Ketua MK Suhartoyo menyebutkan, “Sepanjang tidak dimaknai ‘dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial,”
Putusan ini sekaligus menjadi tamparan bagi paradigma pembangunan yang selama ini menomorduakan hak rakyat kecil demi kepentingan korporasi.
Selama bertahun-tahun, masyarakat adat dikriminalisasi karena membuka lahan yang justru menjadi ruang hidup mereka sendiri. Kini, MK seolah mengembalikan hutan ke pangkuan ibu pertiwi kepada mereka yang menjaga, bukan menjualnya.
Kalangan aktivis dan akademisi menilai keputusan ini sebagai “kemenangan ideologis rakyat terhadap birokrasi kapitalistik negara”, yang selama ini menjadikan izin usaha sebagai alat kontrol dan monopoli ruang hidup.
Masyarakat adat di berbagai wilayah, mulai dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, menyambut putusan ini sebagai tanda kebangkitan kedaulatan rakyat atas tanah dan alamnya sendiri.
Negara seharusnya tidak lagi berdiri sebagai penjaga gerbang perizinan, tetapi menjadi pelindung hak-hak rakyat adat sebagai bagian dari keutuhan bangsa.
Sebab, seperti kata pepatah leluhur: “Tanah bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu.” (sa.by)