SUARA NEGERI | SURABAYA — Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Sukar, Kepala Desa Srabah, Kecamatan Karanganom, Kauman, Tulungagung, menjadi sorotan tajam. Kasus ini bukan semata praktik korupsi di desa, melainkan diduga terkait dengan lingkaran elite politik Jawa Timur.
Dalam surat panggilan nomor Spgl/448/DIK.01.00/23/09/2025, Sukar dijadwalkan hadir sebagai tersangka di Gedung KPK, Kamis (2/10/2025) pukul 10.00 WIB. Ia disebut bersama sejumlah nama lain Jodi Pradana Putra, Hasanudin, Wawan Kristiawan, dan A. Royan terlibat dalam korupsi dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas) Jawa Timur tahun anggaran 2019–2022.
Yang membuat kasus ini melebar adalah fakta bahwa penyidikan KPK kini menelusuri kaitan ke struktur politik tingkat provinsi.
Pada konferensi pers di Gedung Merah Putih, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan penyidikan tidak berhenti di penerima tingkat desa, tetapi juga menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah tokoh elite seperti Abdul Halim Iskandar, La Nyalla Mahmud Mattalitti, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Abdul Halim Iskandar (eks Menteri Desa PDTT) diperiksa karena dugaan korupsi terkait pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim periode 2019–2024, sebelum dirinya naik jabatan.
La Nyalla Mattalitti dikaitkan dengan pengelolaan hibah melalui KONI Jawa Timur, di mana ia diduga menitipkan dana hibah ke sejumlah SKPD.
Khofifah Indar Parawansa diperiksa terkait mekanisme distribusi hibah Pemprov bersama DPRD, mulai dari aturan pembagian hingga alokasi anggaran.
Hingga saat ini, KPK telah menetapkan 21 orang tersangka, termasuk Sukar dan beberapa pejabat provinsi maupun swasta.
Pengamat hukum dan Aktivis anti korupsi Fredi Moses Ulemlem menegaskan, kasus ini tidak bisa berhenti di level desa.
"Kasus ini bukan sekadar tentang desa. Ini soal struktur kekuasaan yang melekat di provinsi dan legislatif, bagaimana aliran dana dari APBD ke Pokmas menjadi ladang pembagian kuasa," ujarnya.
Menurut Fredi, fakta bahwa KPK turut menyeret nama-nama besar membuktikan bahwa korupsi hibah Pokmas adalah bisnis berlapis, dari pejabat desa hingga elite politik.
Ia menegaskan agar penyidikan membongkar aktor utama, bukan sekadar “eksekutor lokal.”
"Kalau KPK berhenti hanya di Sukar, maka kita akan terus melihat skema serupa berulang di daerah lain," tegasnya.
Fredi juga menyoroti bahwa masyarakat desa selalu menjadi korban paling akhir, jalan rusak, sanitasi buruk, layanan publik gagal, sementara uang rakyat dipotong di setiap lapisan birokrasi.
"Korupsi hibah Pokmas tidak pernah hanya satu orang. Ini soal oligarki birokrasi yang merasuk sampai desa," tambahnya. (sa/by)