SUARA NEGERI | BERAU — Gelombang Kebangkitan Nusantara kini berlabuh di Kalimantan. Melalui agenda Roadshow Kebangkitan Nusantara 2025, gerakan nasional ini menyusuri pesisir, kampung nelayan, dan sentra perikanan rakyat di berbagai wilayah Kalimantan untuk menghidupkan kembali semangat kedaulatan pangan maritim Indonesia.
Dalam setiap perhentian, roadshow ini membawa pesan penting: “Bangkitkan kekuatan laut untuk menegakkan kedaulatan pangan rakyat.”
Indonesia bukan sekadar negara kepulauan, ia adalah negara maritim yang seharusnya menyejahterakan bangsanya sendiri.
Ironi di Negeri Laut dan Tanah Subur
Ironi terus berulang di republik ini. Di negeri dengan laut seluas samudra dan tanah subur sejauh mata memandang, jutaan rakyat justru kesulitan menikmati sumber protein hewani yang layak.
Ketahanan pangan Indonesia masih timpang, produksi melimpah, tapi akses rakyat kecil tetap sempit.
Tiga sumber utama protein rakyat, ikan, ayam, dan telur, kini dikepung persoalan struktural, dominasi korporasi besar dalam rantai pasok pakan, infrastruktur distribusi yang tidak berpihak, dan harga yang terus menanjak di pasar tradisional.
Masalah pangan di Indonesia bukan karena alamnya miskin, melainkan karena sistem yang menjauhkan rakyat dari sumber pangannya sendiri.
Ikan: Kaya di Laut, Miskin di Meja Rakyat
Sebagai daerah pesisir penting di Kalimantan Timur, Berau menyimpan potensi laut luar biasa. Namun, nelayan kecil di pesisir masih harus bergulat dengan ongkos produksi tinggi dan rantai distribusi panjang.
Ikan yang melimpah di lautan justru sulit dijangkau rakyat karena sistem pasar yang tak berpihak.
Ikan teri, tongkol, dan kembung, lauk sederhana rakyat, kini ikut mahal. Ironinya, banyak hasil laut terbaik justru diekspor, sementara meja makan rakyat tetap kosong dari gizi lautnya sendiri.
Ayam dan Telur: Murah di Bibir, Mahal di Pasar
Peternak kecil di pedalaman Kalimantan mengaku kesulitan bertahan. Harga pakan yang terus naik karena ketergantungan impor membuat biaya produksi melonjak. Akibatnya, harga jual ayam dan telur ikut terkerek, dan beban akhirnya kembali ke rakyat.
Liberalisasi pangan yang diharapkan membawa efisiensi justru meminggirkan peternak kecil. Produksi lokal melemah, dan ketergantungan terhadap industri besar makin dalam.
Sapi dan Ketergantungan yang Diciptakan
Kemandirian daging sapi juga belum tercapai. Harga tinggi di kota besar tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan peternak desa. Ketika impor menjadi solusi instan, maka kemandirian pangan hanya tinggal slogan.
Padahal, dari tanah-tanah subur Berau hingga dataran tinggi Nusantara lainnya, sumber daya lokal sesungguhnya cukup untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Politik pangan adalah politik kedaulatan. Bangsa yang tidak bisa memberi makan rakyatnya, takkan pernah bisa berdiri tegak di atas kaki sendiri.
Menurut Banus, Komandan Roadshow Kebangkitan Nusantara, solusi untuk meningkatkan gizi dan kecerdasan anak bangsa harus dimulai dari kedaulatan pangan rakyat.
"Kalau kita ingin anak-anak Indonesia tumbuh cerdas dan kuat, jangan jauh-jauh cari sumber gizinya. Ada di laut kita, di tambak rakyat, dan di tangan nelayan kecil. Yang perlu dilakukan negara adalah memastikan ikan segar, telur, dan daging rakyat bisa sampai ke meja rakyat dengan harga terjangkau," tegas Banus, pada Kamis, 6 November 2025 di Berau.
Ia menambahkan, Roadshow Kebangkitan Nusantara bukan hanya kampanye simbolik, tetapi gerakan nyata untuk mendorong produksi dan konsumsi protein lokal berbasis laut dan rakyat.
"Kita sedang membangun kesadaran baru, bahwa gizi dan kecerdasan anak bangsa dimulai dari laut sendiri. Kalau lautnya makmur, anak bangsanya cerdas, dan negaranya berdaulat," ujar Banus.
Gerakan Kebangkitan Nusantara di Kalimantan menjadi momentum membangkitkan kesadaran kolektif bahwa kedaulatan pangan dimulai dari laut dan rakyat sendiri.
Dari Berau, gelombang perjuangan ini akan terus bergerak ke Kalimantan Utara, Selatan, dan Barat, menyalakan kembali obor kemandirian pangan di negeri maritim terbesar di dunia.(sa/by)


