Fredi Moses: Fee Deposito dari Bank Ganggu Integritas Kebijakan Fiskal Daerah

SuaraNegeri.com
Kamis, 23 Oktober 2025 | 05:49 WIB Last Updated 2025-10-22T22:49:13Z

SUARA NEGERI | JAKARTA — Pengamat hukum dan politik Fredi Moses Ulemlem menyoroti maraknya praktik penempatan dana APBD dan APBN dalam bentuk deposito oleh sejumlah pemerintah daerah maupun instansi negara. 

Ia menilai, praktik ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pengelolaan anggaran, tetapi juga membuka ruang bagi korupsi terselubung melalui skema “fee management” yang ditawarkan oleh pihak bank.

"Penempatan dana publik dalam bentuk deposito sebenarnya bisa dimaklumi bila untuk manajemen kas sementara. Tapi dalam praktiknya, ini sering dijadikan alat barter kepentingan antara pejabat dan marketing bank," kata Fredi, pada Kamis (23/10/2025).

Menurutnya, dalam sejumlah kasus, marketing bank aktif mendekati bendahara, kepala dinas, atau pejabat pengelola keuangan daerah, menjanjikan imbalan atau ‘fee management’ bila dana APBD atau APBN ditempatkan di bank tertentu.

"Fee management ini modus klasik. Pihak bank menawarkan jasa deposito dengan bunga menarik, lalu di belakang layar, ada persentase tertentu yang dikembalikan ke pejabat dalam bentuk hadiah, uang tunai, atau fasilitas lain," ungkap Fredi.

Ia menambahkan, praktik semacam ini tidak hanya melanggar etika pengelolaan keuangan publik, tetapi juga masuk dalam kategori gratifikasi dan suap terselubung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ketika pejabat publik menerima keuntungan pribadi dari dana yang bersumber dari APBN atau APBD, itu jelas gratifikasi. Sekecil apapun nilainya, tetap pelanggaran hukum," tegasnya.

Fredi menilai, kolusi antara pejabat dan pihak bank menciptakan rantai penyimpangan yang sistematis, dari perencanaan anggaran, pengendapan dana, hingga penyaluran bunga deposito. 

"Ini bukan sekadar praktik administratif, tetapi sudah menjadi ekonomi rente yang merusak kepercayaan publik," ujarnya.

Ia juga mengkritik pola “parkir dana” menjelang akhir tahun anggaran, yang kerap digunakan untuk memperoleh bunga tinggi dari deposito jangka pendek. Akibatnya, serapan anggaran rendah dan proyek-proyek publik tertunda.

"Uang negara seharusnya berputar di masyarakat, bukan disimpan demi keuntungan pribadi. Saat masyarakat menunggu pembangunan, uangnya malah ‘tidur’ di bank," kata Fredi.

Dari sisi regulasi, Fredi menjelaskan bahwa aturan seperti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 sudah menegaskan bahwa bunga hasil deposito harus masuk ke kas negara atau kas daerah. 

Namun lemahnya pengawasan dan adanya hubungan personal antara pejabat dan pihak bank membuat aturan tersebut sering diabaikan.

Ia mendesak agar pemerintah memperkuat sistem pengelolaan kas tunggal (Treasury Single Account) baik di pusat maupun daerah, agar tidak ada lagi dana publik yang ditempatkan di luar mekanisme resmi.

"Kalau sistem ini berjalan penuh, marketing bank tidak lagi bisa bermain di ruang abu-abu. Semua penempatan uang publik harus transparan, tercatat, dan diaudit secara real time," jelas Fredi.

Di akhir pernyataannya, Fredi menegaskan bahwa moralitas birokrasi menjadi kunci utama reformasi anggaran.

"Selama mental pejabat masih melihat uang negara sebagai sumber rente, sebaik apapun sistemnya akan bocor juga. Pemerintah harus berani menutup pintu kolusi antara pejabat dan bank. Uang rakyat bukan komoditas," pungkasnya.(sa/by)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Fredi Moses: Fee Deposito dari Bank Ganggu Integritas Kebijakan Fiskal Daerah

Trending Now

Iklan