SUARA NEGERI | JAKARTA — Profesi advokat kini menghadapi dua tantangan besar sekaligus: revisi Undang-Undang Advokat yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Keduanya dinilai rawan melemahkan posisi advokat sebagai penegak hukum, sekaligus mengancam hak-hak masyarakat pencari keadilan.
Wakil Ketua Umum DPN Peradi, Dr. H. Sutrisno, SH., M.Hum menilai rencana revisi UU Advokat berpotensi menciptakan masalah baru. Salah satunya adalah wacana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) yang membuka peluang munculnya sistem multi bar, bukan single bar sebagaimana diamanatkan UU No. 18 Tahun 2003.
"Revisi UU Advokat menurut saya justru bisa menambah rusaknya dunia profesi advokat, karena akan dibentuk Dewan Advokat Nasional (DAN). Padahal mayoritas negara di dunia menganut prinsip single bar, bukan multi bar," ujar Sutrisno, di Jakarta, disitat pada Rabu (24/9).
Ia menegaskan, banyaknya organisasi advokat di Indonesia bermula dari SKMA No. 073/2015 yang dianggap bertentangan dengan UU Advokat. Kondisi ini membuat advokat bermasalah bisa berpindah-pindah organisasi tanpa sanksi tegas.
"Jika model multi bar dipaksakan, advokat nakal akan makin sulit dikontrol. Ujungnya, masyarakat pencari keadilan yang paling dirugikan," tambahnya.
Pandangan serupa disampaikan praktisi hukum Fredi Moses Ulemlem, S.H., M.H., alumni Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon. Ia menilai pembahasan RUU KUHAP berpotensi mengecilkan peran advokat.
"RUU KUHAP harus lebih adil dan tidak boleh mengancam hak-hak advokat. Jangan sampai advokat hanya menjadi penonton. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang bagi masukan organisasi advokat," tegas Fredi Moses.
Menurutnya, UU No. 18 Tahun 2003 telah mengakui advokat sebagai penegak hukum sejajar dengan hakim, jaksa, dan polisi. Namun dalam praktiknya, advokat kerap mendapat perlakuan diskriminatif.
Fredi menegaskan advokat memiliki fungsi strategis pada tiap tahap proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga kasasi:
1. Penyelidikan: memberi saran dan pendampingan.
2. Penangkapan & Penahanan: memastikan hak-hak tersangka tidak dilanggar.
3. Penyidikan: mendampingi serta menghadirkan bukti yang relevan.
4. Penuntutan: menjaga fairness antara jaksa dan terdakwa.
5. Persidangan: membela dan mempresentasikan argumen hukum.
6. Banding/Kasasi: mengawal hak klien bila putusan dianggap tidak adil.
"Tanpa perlindungan bagi profesi advokat, proses hukum bisa timpang, dan rakyatlah yang paling menderita," jelasnya.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Dr. Nindyo Prabowo, S.H., LL.M., menilai polemik revisi UU Advokat dan pembahasan RUU KUHAP harus ditempatkan dalam kerangka besar reformasi hukum nasional. Menurutnya, ada dua prinsip fundamental yang harus dijaga: imparsialitas dan kepastian hukum.
"Prinsip single bar penting karena menjaga konsistensi profesi advokat dalam satu wadah yang terkontrol. Jika multi bar dipaksakan, standar etik akan semakin kabur, dan itu berbahaya bagi kepastian hukum," ujarnya.
Terkait RUU KUHAP, Nindyo menekankan pentingnya menjamin right to counsel (hak atas bantuan hukum) sebagai bagian dari hak asasi manusia.
"Jika advokat dipinggirkan dari proses hukum, maka potensi unfair trial semakin besar. Indonesia bisa dinilai tidak memenuhi standar due process of law internasional," imbuhnya.
Baik Sutrisno maupun Fredi Moses menekankan bahwa revisi UU Advokat dan RUU KUHAP seharusnya menjadi momentum reformasi profesi hukum, bukan sekadar kompromi politik.
Keduanya sepakat prinsip single bar harus dipertahankan, hak imunitas advokat diperkuat, serta posisi advokat dijamin di setiap tahap hukum.
"Ini bukan sekadar revisi undang-undang. Ini penentuan masa depan penegakan hukum Indonesia. Jika advokat dilemahkan, rakyatlah yang kehilangan perlindungan," pungkas Sutrisno.(sa/by)